Laporkan Penyalahgunaan

Mengenai Saya

Cari Blog Ini

Biografi Singkat Almarhum Al-Ustad Amin Al-Murtadlo

Majelis IKWANHA
Biografi Almarhum Ustad Amin Al-Murtadlo

Tentang Biografi Singkat Almarhum Al-Ustad Amin Al-Murtadlo

Amin Al-Murtadlo lahir pada hari Minggu, 9 Oktober 1977, bertepatan dengan tanggal 25 Syawal 1397 Hijriah di desa Kandangan yang terletak di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Amin adalah anak dari pasangan Ibu Wakirah dan Bapak Fauzan.

Sejak kecil, kehidupan Amin penuh dengan tantangan. Ia merupakan salah satu dari dua bersaudara yang harus berpisah sejak usia dini. Adiknya, seorang perempuan bernama Kamah, diasuh oleh orang lain, sementara Amin kecil diasuh oleh seorang tetangga yang beragama Kristen.

Keadaan tersebut terjadi karena ibu mereka, yang harus pergi merantau ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai TKW. Sementara itu, sang ayah mencari nafkah dengan bekerja sebagai sopir bus Medali Mas Malang. Kondisi keluarga yang sulit membuat Amin dan adiknya harus tumbuh dalam lingkungan yang berbeda sejak kecil.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMA, Amin memutuskan untuk berhijrah ke Kota Malang. Keputusan ini diambil agar ia dapat lebih dekat dengan sang ayah. Sehari-hari, ia harus tinggal dan beristirahat di garasi bus Medali Mas, tempat ayahnya bekerja sebagai sopir.

Di Malang, Amin tidak sendirian. Ia mengikuti jejak pamannya, Bapak Badri yang merupakan adik dari ibunya. Dengan tinggal bersama pamannya, Amin berharap dapat kembali menjalin kedekatan dengan sang ayah serta memperoleh pengalaman baru yang dapat membantunya memulai lembaran baru dalam hidupnya di kota tersebut. Hijrahnya tersebut bukan sekadar mencari tempat tinggal, tetapi juga bagian dari perjalanan hidupnya dalam mencari jati diri.

Pada waktu itu, Amin memutuskan untuk mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya di kota Malang. Ia kemudian bergabung dengan sebuah perusahaan kontraktor yang berlokasi di daerah Ciliwung, Kota Malang. Selama kurang lebih dua tahun, ia menghabiskan waktunya bekerja di perusahaan tersebut, menekuni dunia konstruksi dan mendapatkan pengalaman di bidangnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, muncul keinginan dalam benak hatinya untuk lebih mendalami ilmu agama. Amin merasa bahwa hidupnya tidak hanya harus diisi dengan hal duniawi, tetapi juga dengan bekal spiritual yang kuat. Dengan tekad yang bulat, ia memutuskan untuk menimba ilmu di sebuah pondok pesantren.

Tanpa pendamping dan tanpa persiapan yang berlebihan, Amin langsung mendaftarkan diri ke pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Blimbing, Kota Malang. Ia datang seorang diri dengan penuh keyakinan, hanya bermodalkan uang sebesar 700 rupiah di sakunya. Meski dalam keterbatasan, semangatnya untuk belajar agama tidak surut, ia pun memulai perjalanannya sebagai seorang santri di pesantren tersebut.

Sejak saat itu, kehidupan Amin Al-Murtadlo mengalami perubahan besar. Jika sebelumnya ia sibuk bekerja di perusahaan kontraktor, kini ia memutuskan untuk berhenti dari dunia kerja dan sepenuhnya fokus menuntut ilmu serta mengabdi di pesantren. Keputusannya untuk berkhidmat di Pondok Pesantren Darul Falah menjadi titik baik dalam perjalanan hidupnya.

Dengan penuh ketekunan, kesabaran, dan ketawadhuan, Amin menjalani kehidupan sebagai seorang santri yang berdedikasi. Sikapnya yang rendah hati dan kegigihannya dalam belajar menarik perhatian pengasuh pesantren. Perlahan, rasa sayang dan kepercayaan dari sang pengasuh pun tumbuh, hingga akhirnya Amin diberi amanah untuk menjadi asisten pribadi beliau.

Keberkahan demi keberkahan mulai menghampiri hidupnya. Awalnya, ia hanya bertugas membantu memenuhi kebutuhan sang kiai beserta keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, kepercayaan yang diberikan kepadanya semakin besar. Amin pun mendapat amanah lebih luas, tidak hanya mengurus urusan dalam pesantren tetapi juga mulai diberi tanggung jawab mengajar. Ia dipercaya untuk menyampaikan ilmu, baik di lingkungan pesantren maupun di majelis-majelis pengajian di luar pesantren. Perjalanan spiritual dan pengabdiannya yang tulus pun membawa manfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi banyak orang di sekitarnya.

Seiring berjalannya waktu, kehidupannya pun semakin lengkap dengan hadirnya seorang pendamping. Pada tanggal 9 Desember 2009, ia menikah dengan Dewi Ilmiatul Ma’rifah, seorang santriwati dari Singosari, Kabupaten Malang. Pernikahan mereka menjadi babak baru dalam perjalanan dakwahnya, dimana ia tidak hanya berjuang sendirian, tetapi kini memiliki seorang istri yang turut mendukung langkahnya.

Kebahagiaan mereka semakin bertambah dengan kelahiran putra pertama, Dzaky Maftuh Birri Zamzami, pada 27 Oktober 2010. Kehadiran sang buah hati menjadi anugerah besar yang semakin menguatkan tekad Amin untuk terus berjuang dalam dakwah dan pengabdian.

Meskipun telah berkeluarga, semangatnya dalam menyebarkan ilmu tidak luntur. Ia tetap istiqamah dalam merawat serta mengembangkan majelis-majelis pengajiannya, memastikan dakwahnya terus berjalan dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Bersama sang istri, ia juga turut serta dalam membangun dan mengembangkan Majelis Nurul Hikmah, menciptakan lingkungan yang penuh berkah bagi para pencari ilmu dan masyarakat sekitar.

Hingga akhirnya, Allah memanggil Amin Al-Murtadlo untuk kembali ke hadirat-Nya pada tanggal 12 Juli 2011, tepat pada waktu subuh di malam Nisfu Sya'ban. Kepergiannya begitu indah, seolah menjadi penutup yang penuh keberkahan atas perjalanan hidupnya yang dipenuhi dengan pengabdian dan ketulusan dalam menebarkan ilmu serta kebaikan.

Malam sebelum wafat, seperti biasa, beliau memulai harinya dengan ibadah. Sejak pukul 02.00 dini hari, ia melaksanakan shalat tahajud, memperbanyak dzikir, serta merenung dalam tafakkur. Setelah itu, ia bersiap untuk sahur, sebagaimana kebiasaannya yang istiqamah menjalankan ibadah puasa setiap hari.

Seusai makan sahur, beliau memperbarui wudhunya untuk menyambut waktu subuh. Tepat saat adzan berkumandang, pada momen suci yang penuh keutamaan itu, Allah memanggilnya pulang. InsyaAllah, ia berpulang dalam keadaan berpuasa, membawa amal ibadahnya sebagai bekal menuju kehidupan abadi.

Saat proses pemandiannya, para santri yang hadir menyaksikan sebuah pemandangan yang menggetarkan hati. Wajahnya bersinar dengan pancaran yang menenangkan, dan senyum lembut menghiasi wajahnya seolah menggambarkan kebahagiaan dan ketenangan di akhir perjalanannya.

Kepergian beliau datang begitu tiba-tiba, mengejutkan banyak orang yang mencintainya. Para santri, sahabat, serta orang-orang terdekatnya merasakan duka yang mendalam atas kehilangan sosok yang begitu mereka hormati dan kagumi. Tanpa perlu undangan, di pagi itu, mereka berbondong-bondong datang untuk memberikan penghormatan terakhir, mengiringi kepulangannya dengan penuh doa dan haru.

Kesedihan tampak di wajah murid-muridnya yang merasa kehilangan seorang guru, panutan, dan pembimbing yang selama ini telah memberikan cahaya ilmu serta teladan dalam kehidupan mereka. Namun, mereka juga yakin bahwa beliau telah meninggalkan dunia dalam keadaan yang baik.

InsyaAllah, beliau berpulang dalam keadaan husnul khatimah, dengan amal kebaikan dan pengabdian yang tak terhitung jumlahnya sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi di sisi Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ صَائِمٌ فَتُحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَلَمْ تُغْلَقْ حَتَّى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan sedang berpuasa, maka Allah Swt akan membukakan untuknya pintu-pintu surga dan tidak akan menutupnya sampai hari kiamat." (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Wallahu Ta’alaa A’lamu Bisshowwab…

: